Monday, December 31, 2007

Kejujuran itu Lebih Manis Rasanya
Penulis : Meyla Farid

Suatu hari, seorang murid mendapat giliran piket membersihkan kelas. Pagi-pagi ketika semua temannya belum tiba di sekolah, dia sudah berada di dalam kelas untuk melaksanakan tugasnya. Ketika sedang menyapu di dalam kelas itulah dia tidak sengaja menyenggol vas bunga di meja gurunya hingga vas itu jatuh ke lantai dan pecah berantakan. Karena takut dimarahi oleh gurunya, anak tersebut cepat-cepat membersihkan pecahan-pecahan vas lalu membuang dan menyembunyikannya ke dalam tong sampah di belakang sekolah.

Saat jam pelajaran dimulai, guru yang bersangkutan pun datang. Guru itu pun kaget menemukan mejanya yang kosong. Satu per satu anak-anak didiknya ditanya. Tapi tentu saja, tidak ada seorang pun yang mengakui di mana keberadaan vas bunga kesayangan guru tersebut. Hanya seorang anak saja, yang piket hari itu, yang mengetahui semuanya, tapi dia pun tidak mau terus terang karena takut dimarahi dan diberi hukuman oleh gurunya.

Berhari-hari anak tersebut menyembunyikan rahasianya. Dia menjadi sering gugup di depan gurunya, bahkan tidak bisa berkonsentrasi saat pelajaran di dalam kelas. Rasa bersalah terus mendera hatinya. Kalau malam tiba, dia menjadi tidak nyenyak tidur, makan pun dia menjadi tidak berselera. Hingga pada akhirnya anak itu pun memutuskan untuk berterus terang kepada gurunya.

Apa yang terjadi ketika anak itu terus terang? Guru itu memang kecewa dengan pengakuan terlambat dari sang anak. Guru itu memarahi muridnya tentu saja, lalu dihukum berdiri di luar kelas satu hari penuh. Namun ternyata anak itu menjalani hukumannya dengan perasaan lega. Sejak hukuman itu, dia bisa nyenyak tidur dan bisa menikmati makan dengan enak. Dia merasakan sebuah beban yang sangat berat yang berhari-hari menghimpit dadanya sudah hilang.

Ternyata, kejujuran itu lebih manis rasanya. Jika kita melakukan sebuah kesalahan yang menuntut untuk dikatakan, maka kejujuran adalah yang terbaik. Jangan takut dengan hukuman, karena itu memang sudah menjadi konsekuensi dari setiap kesalahan yang kita perbuat. Jalani saja, dan nikmati proses pendewasaan diri dari setiap kesalahan dan hukuman tersebut. Karena hidup memang penuh dengan aral melintang, semak belukar, dan kesalahan-kesalahan kecil atau besar yang kelak akan menjadi pelajaran sangat berharga bagi diri kita.

Wallahu a'lam.

Ko Aneh ? Sungguh Aneh

Sungguh Aneh...
Penulis : Abu Luthfi Ar-Rasyid

Cinta akan semakin bertambah, sampai semua hidup kita diberikan pada Allah SWT. Tidak ada kenikmatan, keceriaan, kesedihan, dan amal perbuatan kecuali untuk menyenangkan Allah SWT. Maka, kita pun dengan sepenuh hati mengatakan bahwa, "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam." (QS. Al-An'am (6) : 162).


Tapi sayang, sekarang ini banyak orang (bisa diri kita atau orang lain) yang terlenakan oleh gemerlapnya dunia, sehingga cinta kepada Allah pun terkikis habis dan tergantikan oleh cintanya kepada dunia yang fana ini. Dan itu semua karena hatinya lalai.

Lalai merupakan penyakit yang berbahaya apabila telah menjalar di dalam hati dan bersarang di dalam jiwa. Karena akan berakibat anggota badan saling mendukung untuk menutup pintu hidayah, sehingga hati akhirnya menjadi terkunci. Allah berfirman, "Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang lalai." (QS. An-Nahl (16) : 108).

Allah SWT memberitahukan, bahwa orang yang lalai adalah mereka yang memiliki hati yang keras membatu, tidak mau lembut dan lunak, tidak mempan dengan berbagai nasehat. Dia bagai batu atau bahkan lebih keras lagi, karena mereka punya mata, namun tak mampu melihat kebenaran dan hakikat setiap perkara. Tidak mampu membedakan antara yang bermanfaat dan membahayakan. Mereka juga memiliki telinga, namun hanya digunakan untuk mendengarkan berbagai bentuk kebatilan, kedustaan, dan kesia-siaan. Tidak pernah digunakan untuk mendengarkan al-haq dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW.

"... Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah). Dan mereka mempunyai mata, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Dan mereka mempunyai telinga, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai." (QS. Al-A'raf (7) : 179).

Maka, sungguh aneh dan mengherankan sekali orang yang mengaku :
Mengenal Allah, tetapi tidak mencintaiNya.
Mendengar seruan Allah, tetapi tidak mengindahkannya.
Enggan berhubungan dengan Allah yang pasti menguntungkan, tetapi berhubungan dengan selainNya.
Mengetahui akibat murka Allah, tetapi berani menentangNya.
Membutuhkan segala sesuatu dari Allah, tetapi berpaling dan menjauhiNya.

Padahal hidup di dunia ini hanyalah sebentar dan sementara, yang abadi selamanya hanya ada di akhirat sana. Dan perlu kita ketahui, bahwa baik buruknya kehidupan kita di akhirat nanti tergantung bagaimana hidup kita di dunia. Perjalanan kehidupan kita akan diperlihatkan kembali. Tidak ada komentar atau pembelaan kita di sana, karena mulut kita di kunci, yang ada adalah kesaksian tangan, kaki, dan anggota tubuh yang lainnya yang berkata tentang apa yang dilakukannya.

Wallahu a'lam.

Pribadi Yang Tenang

Pribadi yang Tenang
Penulis : Abu Luthfi Ar-Rasyid

KotaSantri.com : Sikap resah, gelisah, panik merupakan tanda ketidaktenangan seseorang dalam bersikap dan berperilaku. Sikap tersebut dapat mendatangkan situasi di sekitarnya tidak bersahabat. Bahkan akan memupuk sikap ceroboh, emosional, dan membuat orang lain terdzalimi. Padahal prestasi dan kesuksesan dapat diraih oleh seseorang yang hatinya senantiasa berada dalam keadaan tenang.

Seseorang yang memiliki pribadi yang tenang dapat dilihat dari kemampuannya berpikir yang jernih, kemampuan menghimpun informasi secara akurat, dan kemampuan dalam bertindak yang selalu tepat, efektif, dan efisien. Semua itu akan diperoleh dari keyakinan yang tinggi pada Allah SWT. Sementara keyakinan dapat diperoleh dari ilmu pengetahuan dan pemahaman. Hal yang ironis jika seseorang bisa berprestasi tanpa ilmu atau pengalaman atau tanpa pendekatan kepada Allah SWT. Karena dengan ilmu, seseorang dapat merangkum berbagai informasi, dan melalui pengalaman seseorang akan meraih sejuta wawasan.

Begitu pula dengan pendekatan melalui dzikir dan do'a akan menyebabkan seseorang bertambah keyakinan pada Sang Khalik. Keyakinan dapat muncul dari latihan yang terus menerus. Orang yang terbiasa hidup sederhana, misalnya. Yang sejak kecil dididik untuk hidup sederhana, maka setelah dewasa dikala jabatan telah digenggamnya, tak membuatnya silau, karena baju ke-zuhud-an senantiasa melekat dalam dirinya. Itu salah satu bukti akan terinternalisasinya ilmu dan kedekatan diri pada Allah SWT sehingga menjadikanNya sebagai yang utama.

Marilah kita pupuk diri kita menjadi pribadi yang tenang, namun tetap terkendali. Karena dengan sikap tenanglah akan melahirkan pribadi yang bijak dan berwibawa. Maka disaat kita dilanda gelisah, cukuplah Allah SWT menjadi tempat pemberi ketenangan. Semoga Allah SWT yang menggenggam setiap hati hamba-hambaNya senantiasa melimpahkan ketenangan kepada kita. Aamiin.

Kita Hidup Dalam Lautan Ujian

Kita Hidup dalam Lautan Ujian
Penulis : Abu Luthfi Ar-Rasyid


Hidup ini memang tak lebih dari lembar demi lembar ujian, karena Allah SWT menjadikan seseorang sebagai ujian bagi sesamanya. Itulah yang Allah firmankan, "Dan Kami jadikan sebagian kalian ujian bagi sebagian yang lain.” (QS. Al-Furqan : 20), "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan." (QS. Al-Baqarah (2) : 155).

Ibnul Qayyim mengatakan, bahwa kondisi ujian seperti ini akan dialami oleh setiap orang. Para Rasul diuji oleh yang didakwahinya. Diuji kesabarannya atas cacian mereka, diuji kemampuannya dalam menyampaikan risalah Allah. Kaum yang disampaikan ajaran oleh para Rasul itu juga diuji oleh dakwah yang disampaikan para Rasul. Diuji apakah mereka mentaati para Rasul, menolong, dan membenarkannya? Atau mereka malah mengkufuri, menolak, dan memeranginya?

Para ulama diuji dengan orang-orang bodoh. Apakah para ulama itu tetap mengajari, menasehati, dan sabar untuk mengajari mereka? Dan orang-orang bodoh juga diuji dengan adanya para ulama. Apakah mereka akan mentaati dan mengikuti para ulama? Kaum pria diuji dengan adanya kaum wanita. Dan sebaliknya wanita juga diuji dengan adanya kaum pria. Suami diuji dengan istrinya. Istri diuji dengan suaminya. Orang mukmin diuji dengan orang kafir. Orang kafir diuji dengan orang mukmin.

Ketahuilah juga bahwa kedudukan dan kehormatan yang kita nikmati itu adalah ujian. Pemimpin adalah ujian bagi rakyat dan rakyat adalah ujian bagi pemimpin, yang kuat adalah ujian bagi yang lemah dan yang lemah adalah ujian bagi yang kuat, yang kaya adalah ujian bagi yang miskin dan yang miskin adalah ujian bagi yang kaya, yang tampan adalah ujian bagi yang jelek dan yang jelek adalah ujian bagi yang tampan. Semua orang adalah ujian bagi sesamanya. "Dan Kami jadikan sebagian kalian ujian bagi sebagian yang lain."

Dengarkanlah sebuah syair yang dikutip oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Miftah Darus Sa'adah, "Adakah orang yang sampai pada kedudukan yang terpuji, atau akhir yang utama. Kecuali setelah ia melewati jembatan ujian. Demikian kedudukan tinggi jika engkau ingin mencapainya. Naiklah ke sana dengan melewati jembatan kelelahan."

"Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Luhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (QS. Al-Hadid (57) : 22).

Tinta pena telah mongering, lembaran-lembaran catatan ketentuan telah disimpan, setiap perkara telah diputuskan, dan takdir telah ditetapkan. Maka, "Katakanlah : Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami." (QS. At-Taubah (9) : 51).

Apa yang membuat kita benar tak akan membuat kita salah. Sebaliknya, apa yang membuat kita salah tidak akan membuat kita benar. Jika keyakinan tersebut tertanam kuat pada jiwa kita dan kukuh bersemayam dalam hati, maka setiap bencana akan menjadi karunia, setiap ujian menjadi anugerah, dan setiap peristiwa menjadi penghargaan dan pahala.

"Barangsiapa yang oleh Allah dikehendaki menjadi baik, maka ia akan diuji olehNya."

Wallahu a'lam.

Menggengam Waktu meraih Prestasi


Diasuh oleh: KH. Abdullah Gymnastiar

Apakah yang menjadi resep teramat jitu, yang dimiliki para sahabat Nabi SAW yang menjadi balatentara Islam ketika itu, sehingga mereka mampu menaklukkan dua imperium adidaya, Romawi dan Persia, yang balatentaranya amat kuat dan perkasa? Resepnya ternyata tersimpul dari pengakuan penuh kekaguman dari seorang anggota dinas intelejen Romawi setelah melakukan kegiatan mata-mata di Madinah. Kepada Kaisar Romawi ia mengutarakan kesannya tentang watak kaum muslimin, "Ruhbaanun bil-laili, firsaanun binnahaar!" Ya, mereka, kaum muslimin itu, kalau malam tak ubahnya seperti rahib, sedangkan kalau siang sungguh bagaikan singa!

Umat Islam ketika itu mampu memadukan dua kekuatan ikhtiar yang sungguh luar biasa, sehingga menghasilkan sesuatu yang, subhanallah, sangat
luar biasa pula. Tubuh dan pikiran seratus persen digunakan untuk berikhtiar, bersimbah peluh berkuah keringat. Dikerahkan segenap potensi yang telah dititipkan ALLOH Azza wa Jalla, demi teraihnya suatu prestasi tertinggi, suatu karya terbaik. Dengan demikian, jadilah ia muslim yang unggul, prestatif, dan patut dibanggakan. Selain itu, hati pun seratus persen digunakan berikhtiar dengansekuat tenaga untuk ber-taqarrub
dan mengejar pertolongan ALLOH, sehingga menjadi hamba yang ridha dan diridhai-Nya. Jadilah ia ahli ibadah yang unggul dan prestatif, kekasih ALLOH Azza wa Jalla, yang akan dikuatkan-Nya manakala ia lemah, yang akan dicukupkan-Nya ketika ia dalam kekurangan, yang akan dilapangkan-Nya bila ia dalam kesempitan, yang akan ditenteramkan-Nya tatkala ia dilanda gelisah, serta akan ditolong dan dibela-Nya sekiranya ia dianiaya dan disakiti. Bagi hamba ALLOH yang unggul dalam ibadah kepada-Nya, maka baginya ALLOH itu dekat, "...fa innii qariib. Ujiibu da'wataddaa'i idzaa da'aan" [Q.S. AI-Baqarah (2): 186]. Aku adalah dekat. Aku mengabulkan orang yang berdo'a apabila ia mendo'a kepada-Ku! Bahkan, baginya ALLOH itu teramat dekat. "...dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." [Q.S. Qaf (50): 16]

Gambaran seorang muslim yang unggul dan prestatif memang ibarat rahib dalam kualitas ibadahnya dan laksana singa dalam kualitas semangat
jihadnya. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya untuk menjadi seorang pribadi yang unggul? Salah satu kuncinya yang utama adalah kemampuan menggenggam waktu. Secara syariat, siang dan malam itu terdiri atas 24 jam. Seberapa besar seorang muslim mampu menggunakan waktu yang telah disediakanALLOH tersebut? Dengan kata lain, seberapa mampu seorang muslim mampu melakukan percepatan diri?
Kita ibaratkan dalam sebuah lomba balap sepeda. Ketika pistol diletuskan, tampaknya orang yang menjadi juara dalam balap sepeda tersebutadalah orang yang dalam detik yang sama bisa mengayuh sepedanya lebih kuat dan lebih cepat daripada yang dilakukan oleh orang lain, sehingga dia akan melesat mendahului pembalap yang lain karena energi yang dipergunakan dan ketepatan gerakannya lebih baik daripada detik yang sama yang dilakukan orang lain.

Artinya, keunggulan itu sangat dekat dengan orang yang paling efektif dalam memanfaatkan waktunya. Islam adalah agama yang paling dominan
mengingatkan kita kepada waktu. ALLOH sendiri berkali-kali bersumpah dalam AI-Quran berkaitan dengan waktu. "Wal 'ashri (Demi waktu)," "Wadh dhuha (Demi waktu dhuha)." "Wal lail (Demi waktu malam)." "Wan nahar (Demi waktu siang)." ALLOH pun telah mendisiplinkan kita agar ingat terhadap waktu minimal lima kali dalam sehari semalam: Shubuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib, 'Isya. Belum lagi tahajjud pada sepertiga akhir malam dan shalat Dhuha ketika matahari terbit sepenggalah. ALLOH mengingatkan kita untuk selalu terkontrol dengan waktu yang ada.
Oleh sebab itu, tampaknya tidaklah perlu bercita-cita yang hebat bagi orang-orang yang menganggap remeh waktu karena kunci keunggulan
seseorang justeru terletak pada bagaimana dia mampu memanfaatkan waktu secara lebih baik daripada yang dimanfaatkan oleh orang lain.

Dua puluh empat jam adalah waktu sehari semalam yang sama diberikan kepada setiap orang. Ada yang bisa mengurus dunia. Ada yang mampu
mengurus perusahaan raksasa. Ada yang bisa mengurus berjuta-juta manusia.Akan tetapi, ada juga orang yang selama dua puluh empat jam tersebut mengurus diri sendiri saja tidak sanggup. Padahal, jatah waktu yang dimilikinya sarna.
Jangan salahkan siapa pun kalau kita tidak merasakan gemilangnya hidup ini. Hal pertama yang harus kita curigai adalah bagaimana komitmen
kita terhadap waktu yang kita jalani ini. Hendaknya selalu melakukan evaluasi diri. Kalau kita termasuk orang yang sangat menganggap remeh atas
berlalunya waktu, tidak merasa kecewa manakala pertambahan waktu tidak menjadi saat bagi peningkatan kemampuan diri, maka berarti kita memang akan sulit menjadi unggul dalam hidup ini.

Kita berpacu dengan waktu. Satu desah nafas adalah satu langkah menuju maut. Rugi besar kalau kita banyak keinginan, banyak angan-angan,
banyak harapan, tetapi tidak meningkatkan kemampuan. Padahal setiap detik, menit, dan jam adalah peluang bagi peningkatan kemampuan: kemampuan keilmuan, kemampuan diri, kemampuan kelapangan dada kemampuan ibadah. Barangsiapa yang dalam setiap waktu yang dilaluinya selalu tamak dengan upaya meningkatkan kemampuan diri, maka tidak usah heran kalau ALLOH akan memberikan yang terbaik bagi diri kita. Insya ALLOH! ALLOH-lah Pemilik segala-galanya. Akan tetapi, kalau di dalam diri ini tidak ada peningkatan apa pun; ibadah tidak semakin khusyuk dan ikhlas, hati tidak semakin bersih, ilmu tidak semakin tinggi, kekuatan pun tidak bertambah, maka yang tinggal hanyalah angan-angan belaka. Tidak lebih dari itu. Karena, sebetulnya yang terlebih penting bukanlah hanya keinginan, melainkan kemampuan -- dan itulah yang menjadi jawaban terbaik dalam mengarungi kehidupan ini.

Waspadalah terhadap waktu. Setiap waktu yang kita lalui harus kita perhitungkan dengan secermat-cermatnya. Harus membuahkan peningkatan. Kita harus berbuat lebih baik daripada yang dilakukan oleh orang lain. Hendaknya kita tidak sekadar bekerja keras saja, tetapi yang jauh lebih baik adalah bahwa kita harus bekerja keras dan efektif! Banyak orang yang sibuk bekerja tetapi juga sibuk tertinggal, sibuk lupa, serta sibuk mencari sesuatu yang seharusnya tidak dia cari karena semuanya harus sudah siap. Pendek kata, banyak orang yang tampak sibuk, tetapi ternyata tidak efektif. Bukanlah hal seperti ini yang diharapkan. Ada orang yang duduk di depan meja dengan maksud untuk belajar. Belum beberapa detik saja dia duduk, sudah disibukkan dengan mencari ballpoint, sibuk mencari buku yang lupa meletakkannya, sibuk menjerang air untuk ngopi, sibuk melihat foto si dia yang dipajang di sudut meja. Memang dia duduk selama dua jam menghadapi meja, tetapi tidak menghasilkan apa pun. Mengapa demikian? Karena, dia tidak efektif. Untuk menjadi seorang yang efektif dalam mengatur waktu, kita harus adil dalam membaginya. Ada hak belajar, hak membantu orang tua, hak ibadah, hak peningkatan kemampuan diri, hak evaluasi, hak istirahat, hak rekreasi; semua mesti dibagi dengan adil. Sibuk dan hebatnya belajar, misalnya, tetapi tanpa dibarengi dengan istirahat bahkan tanpa diiringi dengan mantapnya ibadah kepada ALLOH, itu hanya menunggu waktu yang suatu saat akan menjadi bumerang.

"Fa idzaa faraghta fanshab. Wa ilaa rabbika farghab." [Q.S. Alam Nasyrah (94):7-8]. Kunci efektivitas adalah manakala selesai menuntaskan suatu urusan, segera bersiaplah untuk mengerjakan urusan lain. Lebih dari semua itu adalah bagaimana menjadikan segalanya sebagai ladang amal dalam
rangka ibadah kepada ALLOH Azza wa Jalla. Karena, bagaimanapun pada akhirnya "kepada Tuhanmulah kamu akan kembali" Allaahu Akbar!